1. Tidak mengurusi jenazahnya
Jika ada seorang Muslim yang meninggal namun kaum Muslimin tidak mengurusi jenazahnya, maka perbuatan mereka ini tercela. Karena memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan mayit hukumnya fardu kifayah. Jika penduduk satu daerah tidak mengurusi jenazah yang meninggal di tengah mereka, maka ini adab yang tercela dan mereka semua mendapatkan dosa. Dalam hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Hadis ini menunjukkan wajibnya memandikan dan mengafani mayit. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619).
Hadis ini menunjukkan wajibnya menyalatkan mayit dan menguburkannya.
2. Tidak mendoakannya
Tidak mendoakan orang yang telah meninggal atau sedikit sekali melakukannya adalah adab tercela kepadanya. Karena Allah ajarkan kita suatu doa di dalam al-Quran,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10).
Dalam ayat ini kita diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah radhiyallahu’anhu, beliau mendoakan Abu Salamah:
اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه
“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920).
Dan karena doa orang yang masih hidup akan bermanfaat untuk orang yang telah meninggal. Mereka sangat membutuhkan doa-doa dari orang yang masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631).
3. Tidak memperbanyak orang untuk menyalatkannya
Selain menyalatkan jenazah itu hukumnya fardu kifayah, hendaknya juga berusaha untuk memperbanyak orang yang menyalatkan jenazah. Kurang semangat untuk mengajak orang menyalatkan jenazahnya, ini adalah akhlak tercela. Karena salat jenazah itu akan memberikan syafa’at untuk mayit. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947).
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ
“Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948).
Maka hendaknya berusaha untuk mengajak orang sebanyak mungkin menyalatkan orang yang telah meninggal.
4. Niyahah
Makna niyahah adalah ekspresi kesedihan yang berlebihan atas meninggalnya seseorang, baik dengan menangis meraung-raung, menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, memukul-mukul tembok dan semisalnya. Niyahah adalah adab yang tercela kepada mayit dan bisa memberikan mudarat kepadanya. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الميِّتَ يُعذَّبُ ببكاءِ أهلِه عليه
“Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya menangisinya” (HR. Bukhari no. 1304, Muslim no. 929).
Dalam riwayat lain:
المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه
“Sesungguhnya mayit itu diazab (di dalam kuburnya) ketika keluarganya melakukan niyahah terhadapnya” (HR. Bukhari no. 1292, Muslim no. 927).
Dan niyahah itu sendiri adalah perbuatan dosa besar yang diancam dengan hukum yang keras. Karena niyahah adalah bentuk tidak rida terhadap takdir Allah. Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
5. Ma’tam
Yang dimaksud dengan ma’tam adalah kumpul-kumpul di rumah duka untuk makan-makan setelah mayit dimakamkan. Padahal kumpul-kumpul di rumah duka dan makan-makan termasuk niyahah. Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ : مِنْ النِّيَاحَةِ
“Dahulu kami (para sahabat Nabi) menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan di sana, setelah mayit dimakamkan, ini semua termasuk niyahah” (HR. Ahmad no. 6866, Ibnu Majah no. 1612, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad).
Bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ
“Aku melarang ma’tam, yaitu kumpul-kumpul (di tempat mayit). Walaupun tidak menangisinya. Karena perbuatan ini memperbarui kesedihan dan membebani keluarga mayit setelah mereka tertimpa kesedihan” (Al-Umm, 1/318).
6. Tidak menunaikan wasiatnya
Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Tidak menunaikan wasiat mayit ini termasuk adab yang tercela kepada mayit. Allah ta’ala berfirman,
فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181).
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah, 16/369-370).
7. Tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya
Jika mayit meninggalkan hutang, maka harta peninggalannya wajib digunakan untuk membayar hutangnya. Jika keluarga dan kerabat dari mayit tidak membayarkan hutang mayit dari hartanya, ini adalah adab yang tercela. Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An-Nisa: 11).
Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة
“Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At-Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه
“Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At-Tirmidzi no. 1079, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al-Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).
8. Duduk di atas kuburannya
Duduk di atas kuburan adalah adab yang tercela. Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun. Dalam riwayat lain, beliau melarang kuburan ditinggikan. Dalam riwayat yang lain, beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970).
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa yang menadaburi tentang larangan duduk di atas kuburan, atau bersandar pada kuburan, atau menginjak kuburan, maka ia akan mengetahui bahwa semua larangan tersebut dalam rangka menghormati penghuninya (yaitu si mayit). Agar para peziarah tidak menginjak kepala penghuni kubur tersebut dengan sandalnya” (Dinukil dari Al-Mulakhos Al-Fiqhi, hal 165).
9. Para pengantar jenazah duduk sebelum mayit dimasukkan ke liang kubur
Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman, sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ
“Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur” (HR. Al-Bukhari no.1310, Muslim no.959).
Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Namun Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah, beliau radhiyallahu’anhu berkata:
إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk” (HR. Muslim no.962).
Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus).
Namun yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam.
10. Tidak salam ketika melewati kuburannya
Karena salam kepada mayit di dalam kubur adalah doa. Dan doa itu bermanfaat untuk mayit yang sudah tidak bisa beramal lagi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata,
أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أتَى المَقْبُرَةَ، فقالَ: السَّلامُ علَيْكُم دارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بكُمْ لاحِقُونَ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mendatangi suatu pemakaman lalu mengucapkan: assalamu’alaikum daaro qoumin mukminin wa inna in-syaa allahu bikum laahiquun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian penghuni negeri kaum yang beriman, kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 249).
Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ البَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لهمْ، قالَتْ: قُلتُ: كيفَ أَقُولُ لهمْ يا رَسولَ اللهِ؟ قالَ: قُولِي: السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا -إنْ شَاءَ اللَّهُ- بكُمْ لَاحِقُونَ.
“Sesungguhnya Rabb-mu memerintahkanmu untuk berziarah ke makam Baqi dan memintakan ampunan untuk penghuninya. Aisyah berkata: doa apa yang semestinya saya ucapkan wahai Rasulullah? Beliau bersabda: ucapkanlah assalamu’alaikum ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin, wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin. Wa inna insyaa-allahu bikum laahiqqun (semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan. Kami insyaallah akan menyusul kalian)” (HR. Muslim no. 975).
11. Tidak menjalin hubungan baik dengan temannya
Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
“Di antara bentuk bakti kepada orang tua yang paling utama adalah engkau berbuat baik kepada para kerabat dari ayahmu setelah ayahmu meninggal” (HR. Muslim no. 2552).
Karena menjalin hubungan baik dengan teman-teman dari orang yang telah meninggalkan akan terus membuat namanya harum dan akan membuat teman-temannya tersebut terus mendoakannya.
12. Tidak menunaikan janjinya
Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَوْ قدْ جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ قدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا فَلَمْ يَجِئْ مَالُ البَحْرَيْنِ حتَّى قُبِضَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جَاءَ مَالُ البَحْرَيْنِ أَمَرَ أَبُو بَكْرٍ فَنَادَى مَن كانَ له عِنْدَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم عِدَةٌ، أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ، فَقُلتُ: إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ لي كَذَا وَكَذَا، فَحَثَى لي حَثْيَةً فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هي خَمْسُ مِئَةٍ، وَقالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا.
“Sungguh jika datang pemberian dari negeri Bahrain, aku akan bagikan kepada engkau wahai Jabir”. Ternyata pemberian dari negeri Bahrain tidak juga datang hingga beliau wafat. Maka ketika harta pemberian tersebut datang, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu berseru kepada orang-orang: “Siapa yang pernah dijanjikan pemberian oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam atau yang pernah dihutangi oleh beliau, silakan temui aku!”. Jabir berkata kepada Abu Bakar: “Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menjanjikan aku pemberian begini dan begitu”. Lalu Abu Bakar pun mengambilkan setangkup harta dengan tangannya untuk diberikan kepadaku. Setelah aku hitung ternyata jumlahnya 500 dinar. Abu Bakar berkata: “Ambil lagi dua kali lipat dari ini!” (HR. Al-Bukhari no. 2296).
Dalam hadis ini Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menunaikan janji dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau. Karena jika janji itu merupakan kebaikan tentu akan mengalirkan pahala kepada orang yang telah meninggalkan yang membuat janji tersebut.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.